JAKARTA, BANTENLIVE.COM– Suasana duka menyelimuti Kompleks TNI AU Triloka XI, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu, 3 Agustus 2025, saat jenazah Marsma TNI Fajar Adriyanto (55) tiba di rumah duka usai kecelakaan tragis pesawat latih di Bogor.
Sekitar pukul 15.20 WIB, sebuah mobil ambulans Toyota Alphard berwarna putih dengan pelat nomor B 1088 SHH memasuki halaman rumah duka.
Di dalamnya, peti jenazah Marsma Fajar dibawa dengan penuh kehormatan oleh para prajurit TNI.
Peti jenazah berwarna putih itu langsung diturunkan dan disemayamkan di ruang tengah rumah duka, diiringi isak tangis keluarga dan para pelayat yang telah menunggu sejak siang.
Sejak pukul 13.45 WIB, kediaman almarhum sudah dipenuhi kerabat, rekan sesama prajurit, dan warga sipil yang mengenal sosok Marsma TNI Fajar Adriyanto semasa hidupnya.
Tampak tenda duka telah didirikan, dengan kursi-kursi pelayat memenuhi halaman rumah.
Karangan bunga ucapan duka terus berdatangan, salah satunya berasal dari Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F. Laisa. Ucapan belasungkawa juga membanjiri linimasa media sosial sejak kabar duka menyebar di pagi hari.
Seperti diberitakan sebelumnya, Marsma TNI Fajar Adriyanto merupakan korban tewas dalam kecelakaan pesawat latih ringan jenis GT 500 dengan nomor ekor PK-S126 yang jatuh di Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, pada Minggu 3 Agustus 2025.
Menurut warga setempat, pesawat sempat terlihat berputar di udara di atas kawasan BTN PGRI Ciampea sebelum akhirnya jatuh di sekitar pemakaman umum Kampung Astana RT 02/01, Desa Benteng, Ciampea, Kabupaten Bogor.
“Pesawat sempat berputar di udara, lalu mendarat darurat dekat lahan pemakaman,” kata Sinwan, warga yang tengah ikut kerja bakti saat insiden terjadi.
Insiden tersebut menyebabkan Marsma TNI Fajar gugur di tempat, sementara satu korban lainnya, Roni Ahmad, mengalami luka serius dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Lanud Atang Sanjaya (ATS) untuk penanganan intensif.
Hingga kini, pihak TNI AU dan Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) masih melakukan penyelidikan atas insiden pesawat latih tersebut.
Kecelakaan ini menyisakan duka mendalam di kalangan militer, terutama keluarga besar FASI yang mengenal Marsma Fajar sebagai senior penerbang yang disegani dan berjiwa pembina.
Marsma TNI Fajar Adriyanto Pernah Hadapi Pesawat AS

Marsma TNI Fajar Adriyanto merupakan mantan Kepala Dinas Penerangan TNI AU yang dikenal dengan call sign ‘Red Wolf’ memiliki keberanian selama bertugas menjadi pilot tempur F-16.
Almarhum bukan sosok sembarangan di tubuh TNI AU. Lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1992 ini dikenal sebagai penerbang tempur andal dan pemimpin yang inspiratif.
Sejak awal pengabdiannya, Fajar dipercaya mengoperasikan pesawat tempur legendaris F-16 Fighting Falcon di Skadron Udara 3, Lanud Iswahjudi.
Di sana, ia mendapat panggilan khas: ‘Red Wolf’, julukan yang lekat hingga akhir hayatnya.
Kariernya terus menanjak. Ia pernah menduduki posisi strategis sebagai Pabandyaops di Sops Kohanudnas, kemudian dipercaya menjadi Komandan Lanud Manuhua pada tahun 2017.
Pada 2019 hingga 2020, Fajar dipercaya menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispen AU), peran yang membuatnya menjadi wajah resmi TNI AU di hadapan publik dan media.
Selama masa tugas itu, ia dikenal tegas, komunikatif, dan selalu hadir menjawab isu strategis terkait kedirgantaraan Indonesia.
Ketegangan Langit Bawean 2003
Salah satu momen penting dalam kariernya terjadi pada 3 Juli 2003, saat Fajar terlibat dalam misi penghadangan pesawat tempur asing yang memasuki wilayah udara Indonesia secara ilegal di atas Pulau Bawean, sekitar 122 km dari Surabaya.
Kala itu, sistem radar TNI AU mendeteksi empat hingga sembilan pesawat tidak dikenal yang terbang tanpa izin pada ketinggian 15.000–30.000 kaki.
Kecepatan mereka mencapai 450 knot, dan pergerakan mereka sempat membahayakan penerbangan sipil.
Fajar bersama Letkol Ian Fuady ditugaskan menerbangkan F-16 dari Lanud Iswahjudi, bergabung dengan dua penerbang lainnya, Mohamad Tony Harjono dan M. Satrio Utomo.
Dalam misi tersebut, mereka berhasil mengidentifikasi pesawat asing sebagai F/A-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat.
Ketegangan meningkat ketika terjadi penguncian radar dan peperangan elektronik antara jet tempur Indonesia dan AS.
Namun, Fajar yang mengendalikan situasi dengan kepala dingin, menggoyangkan sayap F-16 miliknya sebagai sinyal damai.
Keputusan itu membuat konflik mereda tanpa tembakan satu pun. Aksi ini dikenang sebagai salah satu momen paling strategis dalam sejarah pertahanan udara Indonesia.
Tak hanya piawai di udara, Marsma TNI Fajar juga bersinar di bidang akademik. Ia pernah meraih predikat tesis terbaik saat lulus dari Sekolah Kajian Pertahanan dan Strategi (SKPS) Universitas Pertahanan Indonesia pada tahun 2012.
Ia juga dikenal sebagai pembicara yang aktif di berbagai forum pertahanan dan dirgantara.
Pada 3 Agustus 2025, Marsma TNI Fajar melakukan latihan rutin bersama Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) menggunakan pesawat latih ringan GT 500 dengan nomor ekor PK-S126.
Pesawat tersebut jatuh di kawasan pemakaman umum Desa Benteng, Ciampea, Kabupaten Bogor.
Fajar gugur di tempat, sementara rekan sesama penerbang, Roni Ahmad, dilarikan dalam kondisi kritis ke Rumah Sakit Lanud Atang Sendjaya.
Jenazah Marsma Fajar disemayamkan di rumah duka Kompleks TNI AU Triloka XI, Pancoran, Jakarta Selatan, dengan penghormatan militer.
Tinggalkan Balasan